sebuah Cerita Pendek dari Enggar Tyastiwi. M
Awal
melihatnya, ah dia lumayan cantik,
tapi aku tidak tertarik. Aku beranggapan begitu karena belum mengenalnya dekat.
Awal minggu semester 1, ah dia sok
sekali! pikirku. Aku beranggapan negatif lagi karena belum mengenalnya
lebih jauh.
Akhir
semester 2, hebat, dia berhasil membuatku membuka hati yang sudah lama aku kunci.
Aneh bagiku, hanya berselang beberapa bulan dan dia berhasil masuk ke dalam
hati yang terkunci. Apa dia yang selama ini memegang kuncinya?
Awal
semester 3, rasanya perasaanku berkecamuk. Aku pikir aku satu-satunya, ternyata
dia bisa membuka pintu hati pria-pria lain juga. Dia seperti tukang kunci, jenis
pintu apa pun bisa dibukanya. Dia tidak salah, tidak pernah salah. Wanita
selalu benar, aku yang salah terlalu mudah terbawa perasaan.
Akhir
semester 4, dia mencoba kembali membuka hati yang sudah aku gembok rantai
sekuatnya, dan hebat, dia berhasil masuk. Sekuat tenaga aku menahan agar dia
tidak masuk. Namun dia tidak kehabisan akal, seolah bisa masuk dari celah lain.
Aku seharusnya belajar dari pengalaman. Dia masuk bukan untuk tinggal, namun
hanya singgah, singgah untuk minum dan istirahat dari pelariannya terhadap pria
lain.
Pertengahan
semester 5, di saat itu aku berharap waktu berjalan lambat. Beberapa bulan lagi
memasuki semester 6 dan selanjutnya kami wisuda D3. Aku pecundang besar yang
penakut. Terlalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa dia singgah
terlalu lama, dan aku ingin mengusirnya dari hatiku. Namun di sisi lain, aku
berharap dia tidak pergi. Sejujurnya aku hanya takut dia malah akan berjalan
masuk lebih dalam di hatiku.
Wisuda
D3, dan dia sangat anggun mengenakan kebayanya. Membuat delusiku tersiar indah membayangkan
dia akan seanggun itu nanti di pelaminan kami. Pengecut tetaplah pengecut!
Selama ini aku menyangkal bahwa aku memiliki perasaan terhadapnya. Dan pecundang
yang menolak kenyataan bahwa sebenarnya dia sudah lama pergi dari hatiku, namun
aku yang membuat bayangnya seolah tetap tinggal. Selepas wisuda ini, entah apa
aku masih bisa bertemu lagi dengannya.
**
5
tahun setelah wisuda dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku akui
merindukannya, sangat, sangat merindukannya. Aku masih mencari-cari jawaban
atas ketidak-nyamanan yang selama ini aku rasakan. Dia hanya wanita biasa,
mengapa meninggalkan perih yang luar biasa?
Sebulan
lalu aku mendengar kabarnya dari kawan kampusku dulu. Awalnya aku tidak percaya
apa yang aku dengar. Dan kini aku berkendara berkeliling di pinggir kota
Dievorlo, mencari keberadaannya, keberadaan wanita itu. Aku tidak percaya dia
menjadi PSK di pinggiran kota ini.
Perih!
Andai wanita itu menikah denganku, aku berjanji akan membahagiakannya seumur
hidup. Perih! Dia kotor, dan aku masih menyimpan perasaan ini terhadapnya. Bukan
cinta jika kau tidak berkendara selama 5 hari dari rumah ke Dievorlo demi
mencari Dia yang entah masih mengingatmu atau tidak. Mungkin laki-laki lain
malah akan mencari perempuan lain yang lebih baik dari pada menunggunya.
Petang
hari, Aku berhasil menemukannya di pinggir jalan dekat
pom bensin menunggu pria hidung belang. Aku mengajaknya ngopi di Caffe. Dia duduk di hadapanku, masih sama seperti
yang dulu, cantik, menyenangkan dan lembut.
Aku
telah dewasa, tidak seharusnya menjadi pecundang terus menerus. Aku ceritakan
semua padanya bagaimana aku telah menyimpan perasaan terhadapnya sejak awal
melihatnya. Sejak akhir semester 2 aku sudah mencintainya, namun aku hanya bisa
memendam dan menyangkal perasaanku sendiri.
Aku
sudah mengira-ngira jawaban apa yang akan dia berikan. Dan dia meminta maaf
juga berterima kasih padaku. Minta maaf karena tidak bisa membalas perasaanku,
dan berterima kasih karena aku telah mencintainya. Aku tidak bodoh, itu adalah
sebuah penolakkan yang tersirat.
Dan sebuah maaf terakhir darinya.
Sebuah alasan besar yang mendasari keputusannya menolakku. “Aku kotor” jawabnya lirih. Aku tau itu, dan aku pun sakit
mengetahuinya. “Aku berpenyakit, aku
sudah terinfeksi” lanjutnya dengan air mata. Ya, aku tau itu, aku perih
mendengarnya, terlalu kecewa untuk menerimanya.
Jauh-jauh berkendara, sebenarnya
tujuanku bukan untuk memintanya menikah denganku, ya awalnya memang itu. Namun
setelah aku pikir berulang kali, aku tidak bisa, dia sudah kotor. Kecewa,
sangat mengecewakan bagiku.
Datang dari jauh, aku ingin memintanya
untuk pergi dari hatiku, menutup pintu hatiku lalu menguncinya. Dan dia harus membuang
kunci itu sejauh-jauhnya agar dia tidak bisa masuk lagi ke hatiku. Selama ini
belum ada wanita lain yang berhasil masuk ke dalam hatiku karena masih ada dia
di dalamnya beserta kuncinya.
“Kunci
apa maksudmu? Aku tidak mengerti!”. Jawabnya
Ya, aku paham. Dia memang tidak
pernah menggunakan kunci apapun untuk membuatku mencintainya. Itu hanya
delusiku untuk menyangkal perasaanku sendiri terhadapnya. Ternyata aku yang
memang diam-diam mencintainya dari kejauhan, dan dalam diam.
Tentang
kunci itu ternyata tidak benar-benar ada, itu hanya delusiku. Ternyata dia
memang sudah tinggal dihatiku sejak lama, bodohnya selama ini aku menyangkalnya.
Dan semua sudah terlambat. “Aku
mencintaimu, sejak dulu, sekarang, dan nanti”. Ucapku dalam hati dan
berkendara pulang.
Sudah
terlalu terlambat, dia sudah parah, penyakitnya sudah menjangkit. Beberapa hari
setelah pertemuanku dengannya, dia dikabarkan meninggal dunia.
0 komentar:
Posting Komentar