Kamis, 26 Januari 2017

sebuah Cerita Pendek dari Enggar Tyastiwi. M






Awal melihatnya, ah dia lumayan cantik, tapi aku tidak tertarik. Aku beranggapan begitu karena belum mengenalnya dekat. Awal minggu semester 1, ah dia sok sekali! pikirku. Aku beranggapan negatif lagi karena belum mengenalnya lebih jauh.

Akhir semester 2, hebat, dia berhasil membuatku membuka hati yang sudah lama aku kunci. Aneh bagiku, hanya berselang beberapa bulan dan dia berhasil masuk ke dalam hati yang terkunci. Apa dia yang selama ini memegang kuncinya?

Awal semester 3, rasanya perasaanku berkecamuk. Aku pikir aku satu-satunya, ternyata dia bisa membuka pintu hati pria-pria lain juga. Dia seperti tukang kunci, jenis pintu apa pun bisa dibukanya. Dia tidak salah, tidak pernah salah. Wanita selalu benar, aku yang salah terlalu mudah terbawa perasaan.

Akhir semester 4, dia mencoba kembali membuka hati yang sudah aku gembok rantai sekuatnya, dan hebat, dia berhasil masuk. Sekuat tenaga aku menahan agar dia tidak masuk. Namun dia tidak kehabisan akal, seolah bisa masuk dari celah lain. Aku seharusnya belajar dari pengalaman. Dia masuk bukan untuk tinggal, namun hanya singgah, singgah untuk minum dan istirahat dari pelariannya terhadap pria lain.

Pertengahan semester 5, di saat itu aku berharap waktu berjalan lambat. Beberapa bulan lagi memasuki semester 6 dan selanjutnya kami wisuda D3. Aku pecundang besar yang penakut. Terlalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa dia singgah terlalu lama, dan aku ingin mengusirnya dari hatiku. Namun di sisi lain, aku berharap dia tidak pergi. Sejujurnya aku hanya takut dia malah akan berjalan masuk lebih dalam di hatiku.

Wisuda D3, dan dia sangat anggun mengenakan kebayanya. Membuat delusiku tersiar indah membayangkan dia akan seanggun itu nanti di pelaminan kami. Pengecut tetaplah pengecut! Selama ini aku menyangkal bahwa aku memiliki perasaan terhadapnya. Dan pecundang yang menolak kenyataan bahwa sebenarnya dia sudah lama pergi dari hatiku, namun aku yang membuat bayangnya seolah tetap tinggal. Selepas wisuda ini, entah apa aku masih bisa bertemu lagi dengannya.

**

5 tahun setelah wisuda dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku akui merindukannya, sangat, sangat merindukannya. Aku masih mencari-cari jawaban atas ketidak-nyamanan yang selama ini aku rasakan. Dia hanya wanita biasa, mengapa meninggalkan perih yang luar biasa?

Sebulan lalu aku mendengar kabarnya dari kawan kampusku dulu. Awalnya aku tidak percaya apa yang aku dengar. Dan kini aku berkendara berkeliling di pinggir kota Dievorlo, mencari keberadaannya, keberadaan wanita itu. Aku tidak percaya dia menjadi PSK di pinggiran kota ini.

Perih! Andai wanita itu menikah denganku, aku berjanji akan membahagiakannya seumur hidup. Perih! Dia kotor, dan aku masih menyimpan perasaan ini terhadapnya. Bukan cinta jika kau tidak berkendara selama 5 hari dari rumah ke Dievorlo demi mencari Dia yang entah masih mengingatmu atau tidak. Mungkin laki-laki lain malah akan mencari perempuan lain yang lebih baik dari pada menunggunya.

Petang hari, Aku berhasil menemukannya di pinggir jalan dekat pom bensin menunggu pria hidung belang. Aku mengajaknya ngopi di Caffe. Dia duduk di hadapanku, masih sama seperti yang dulu, cantik, menyenangkan dan lembut.

Aku telah dewasa, tidak seharusnya menjadi pecundang terus menerus. Aku ceritakan semua padanya bagaimana aku telah menyimpan perasaan terhadapnya sejak awal melihatnya. Sejak akhir semester 2 aku sudah mencintainya, namun aku hanya bisa memendam dan menyangkal perasaanku sendiri.

Aku sudah mengira-ngira jawaban apa yang akan dia berikan. Dan dia meminta maaf juga berterima kasih padaku. Minta maaf karena tidak bisa membalas perasaanku, dan berterima kasih karena aku telah mencintainya. Aku tidak bodoh, itu adalah sebuah penolakkan yang tersirat. 

            Dan sebuah maaf terakhir darinya. Sebuah alasan besar yang mendasari keputusannya menolakku. “Aku kotor” jawabnya lirih. Aku tau itu, dan aku pun sakit mengetahuinya. “Aku berpenyakit, aku sudah terinfeksi” lanjutnya dengan air mata. Ya, aku tau itu, aku perih mendengarnya, terlalu kecewa untuk menerimanya.

            Jauh-jauh berkendara, sebenarnya tujuanku bukan untuk memintanya menikah denganku, ya awalnya memang itu. Namun setelah aku pikir berulang kali, aku tidak bisa, dia sudah kotor. Kecewa, sangat mengecewakan bagiku.

            Datang dari jauh, aku ingin memintanya untuk pergi dari hatiku, menutup pintu hatiku lalu menguncinya. Dan dia harus membuang kunci itu sejauh-jauhnya agar dia tidak bisa masuk lagi ke hatiku. Selama ini belum ada wanita lain yang berhasil masuk ke dalam hatiku karena masih ada dia di dalamnya beserta kuncinya.

            “Kunci apa maksudmu? Aku tidak mengerti!”. Jawabnya

            Ya, aku paham. Dia memang tidak pernah menggunakan kunci apapun untuk membuatku mencintainya. Itu hanya delusiku untuk menyangkal perasaanku sendiri terhadapnya. Ternyata aku yang memang diam-diam mencintainya dari kejauhan, dan dalam diam.

Tentang kunci itu ternyata tidak benar-benar ada, itu hanya delusiku. Ternyata dia memang sudah tinggal dihatiku sejak lama, bodohnya selama ini aku menyangkalnya. Dan semua sudah terlambat. “Aku mencintaimu, sejak dulu, sekarang, dan nanti”. Ucapku dalam hati dan berkendara pulang.


Sudah terlalu terlambat, dia sudah parah, penyakitnya sudah menjangkit. Beberapa hari setelah pertemuanku dengannya, dia dikabarkan meninggal dunia.




0 komentar: